DARIACEH: Sering kali di dalam kelompok masyarakat kita mendengar adanya sanksi adat berupa harta kepada pelanggar syariat Islam di Aceh.
Tetapi tahukah kamu kalau dalam perspektif fiqih, sanksi adat seperti itu tidak boleh menurut imam mazhab yang empat?
Bahtsul Masail Ulama Dayah (Pesantren) Aceh yang bersidang tanggal 12-15 Maret 2021 di Banda Aceh menyebutkan, ada tiga jenis sanksi adat yang saat ini berlaku di Aceh.
Baca juga: Hukum Hadiah Game Online Menurut Ulama Terkemuka Aceh
Sanksi Dengan Harta (Ta’zir bil mal)
Ulama mazhab yang empat, salah satunya Imam Syafi’i, imam bagi mayoritas umat Islam di Indonesia tidak membolehkan sanksi adat dengan harta benda.
Sanksi Fisik
Pada dasarnya, hanya pihak yang berwenanglah yang boleh memberikan sanksi adat dalam bentuk fisik. Jadi massa (masyarakat) tidak boleh melaksanakan sanksi adat seperti itu.
Pihak yang berwenang pun harus memperhatikan beberapa kriteria dalam menerapkan sanksi adat ini.
Beberapa kriteria itu, seperti mendahulukan bentuk hukuman yang paling ringan dan tidak boleh melukai bagian tubuh. Apalagi sampai mencederai, memukul wajah, dan membuat tulang belulang patah.
Kalau sampai mematikan itu jelas-jelas lebih tidak boleh.
Baca juga: Kedatangan Orang Arab Abad 1 H di Aceh [Tashi] Dalam Catatan Tionghoa
Sanksi Sosial
Begitu pula halnya dengan sanksi adat (sosial) terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam. Tidak boleh sampai menggugurkan fardhu kifayah yang melekat pada pelaku, misalnya pengurusan jenazah.
Hartanya juga harus terjamin kalau pelanggar syari’at sampai harus keluar dari tempat tinggalnya.
Bertentangan Dengan Syariat Islam
Bahtsul Masail Ulama Dayah Aceh juga masih menemukan beberapa sanksi adat yang bertentangan dengan syariat Islam di Aceh.
Seperti adanya denda atas batalnya komitmen pernikahan dengan menanggung resiko hangusnya mahar atau denda penggandaan mahar.
Ada juga denda penyembelihan hewan tertentu sebagai sanksi adat akibat mempermalukan Gampong. Atau penambahan mahar yang diberikan kepada perangkat gampong.
Hal-hal seperti tersebut di atas tentu saja bertentangan dengan syari’at Islam. Termasuk pemanfaatan harta gadai oleh pemilik hutang.
Pendapat tersebut merujuk pada nash yang utama, yaitu Surat Al-A’araf : 199,
فو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Juga hadist Nabi S.A.W,
مارآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد موقوفا على ابن مسعود)
“Sesuatu yang dipandang baik oleh Kaum Muslimin, maka di sisi Allah hal itu baik.” (H.R. Ahmad, mauquf dari Ibnu Mas’ud).