DARIACEH: Tahun 1621, seorang Laksamana Perancis, Agustien de Beaulieu pernah datang ke Banda Aceh. Ia memimpin tiga kapal perang yang berlabuh sekaligus di perairan pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pada masa itu.
Di tahun itu, Sultan Iskandar Muda masih memimpin Kerajaan Aceh. Sultan memerintah antara tahun 1607-1636 Masehi.
Para sejarawan menilai bahwa pada masa-masa tersebutlah kejayaan Aceh mencapai puncaknya. Bahkan dalam bandingannya dengan masa sekarang.
Baca juga: Kedatangan Orang Arab Abad 1 H di Aceh [Tashi] Dalam Catatan Tionghoa
*
Salah satu kapal perang di bawah kepemimpinan Beaulieu bernama Montmorency. Berbobot 450 ton, membawa 162 prajurit dan 22 meriam. Dua lainnya bernama Esperanse, berbobot 400 ton dengan 117 ptajurit dan 26 meriam.
Ada juga kapal perang kecil bernama Hermitage dengan bobot 75 ton berkekuatan 30 prajurit dan delapan meriam. Dia datang setelah berkunjung ke Banten dan Tiku, bagian dari Sumatera Barat.
Dalam catatan buku Aceh Sepanjang Abad karya wartawan perang, Mohammad Said, Beuilieu tiba di pelabuhan Banda Aceh pada tanggal 30 Januari 1621.
Ia datang untuk menghadap Sultan Iskandar Muda sebagai utusan Raja Perancis. Mereka bermaksud menjalin kerjasama datang dengan Aceh. Tetapi gagal mencapai kesepakatan.
Sejumlah sumber menyebutkan, melihat kekuatan armada perang yang dibawa, Beaulieu dan pasukannya bermaksud menguasai negeri-negeri di Timur. Namun, urung setelah melihat kemampuan armada perang Kerajaan Aceh.
Di hari pertama kedatangannya, Sultan Iskandar Muda belum bisa menyambut Beaulieu karena sedang sakit. Padahal, Beaulieu membawa sejumlah persembahan dari Raja Perancis.
Ia membawa surat yang terangkai kata-kata indah dan santun. Beaulieu juga membawa senjata api dan pistol yang disembunyi di dalam pedang berlapis mutiara. Namun sayang, kotak kaca dari bingkisan itu pecah dalam perjalanan.
Suasana Kota Banda Aceh Tahun 1621
Dalam gambaran Beaulieu, Banda Aceh pada masa itu mempunyai dua alun-alun besar. Satu terletak di bagian utara dan satunya lagi ada di pusat kota.
Bila merujuk pada letak geografis Kota Banda Aceh, maka bagian utara adalah daerah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka.
Sementara pusat kota mungkin saja adalah di sekitar Gunongan (Neusu, sekarang) dan kawasan sekelilingnya.
Bila merujuk pada catatan ini pula, istana Kerajaan Aceh berada di bagian utara Banda Aceh (suasana istana akan ditulis dalam tulisan terpisah). Istana sultan dalam catatan Beaulieu teamat luas dan semuanya terbuat dari batu.
Toleransi Orang Aceh
Alun-alun itu, menurut Beaulieu selalu penuh sesak dengan pedagang-pedagang yang datang. Bahkan, sultan juga memperkenankan pedagang yang belum beragama Islam untuk masuk ke alun-alun.
Di sekitar alun-alun, sultan juga membangun beberapa masjid. Bahkan di sana terdapat kuil untuk orang-orang yang belum beragama.
Banyak bagian-bagian indah tergambar dalam catatannya. Ia melihat taman-taman dan piramid. Ada juga sungai-sungai dan sebuah gedung besar khusus untuk para perempuan. Dalam perkiraannya bisa memuat hingga 800 orang.
Ia melihat banyak pedagang datang dengan kapal niaga yang berlabuh di pelabuhan Banda Aceh. Banyaknya orang yang datang bisa jadi melebihi jumlah penduduk Kota Banda Aceh saat ini.
BERITA LAINNYA
- Sanksi Adat yang ini Tidak Dibolehkan Kepada Pelanggar Syariat Islam
- Sejarah Islam di Aceh Abad 1 H, Dikalahkan Propaganda Snouck Hurgronje?