“O, God, ik ben getroffen!” Ia berteriak. Nafasnya terengah-engah. Hilang seketika sikap berpongah-pongahnya.
By TEUNGKUMALEMI
Filed: 1 Desember 2023, 03:09
BANDA ACEH, Pantè Ceureumén
Nama belakangnya merujuk pada nama keluarga Yahudi yang mendiami tanah Eropa. Belanda. Seorang jenderal dengan karir cemerlang. Piawai dalam taktik dan strategi perang.
Ia merangkak sebagai prajurit terbawah saat usianya baru 14 tahun. Menjadi seorang serdadu bawahan dalam jawatan Afdeling Infanteri ke-9 pada pertengahan tahun 1832.
Karirnya menanjak saat bergabung dalam Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Tentara kerajaan Hindia Belanda yang terbentuk tahun 1830. KNIL bertugas mengawasi dan mengontrol wilayah jajahan. Salah satunya Hindia Belanda (Indonesia).
Ia tiba di Batavia (Jakarta) pada 2 Mei 1840. Tetapi tahun 1847 mendapat penugasan di Pesisir Barat Sumatera. Pangkatnya lalu naik satu tingkat menjadi Letnan Satu.
Lima tahun kemudian atau pada 1852 ia resmi menyandang sebutan kapten.
Namanya Johan Herman Rudolf Köhler (J.H.R. Köhler). Seorang tentara yang justru setelah kematiannya menjadi sangat terkenal di Aceh.
Köhler semasa hidupnya adalah prajurit berprestasi dan mendapatkan anugerah Bintang Ridder der Militaire Willemsorde 4de klasse tahun 1857. Menjadi Mayor tahun 1859 dan mendapat penempatan di garnisun Bangka pada tahun berikutnya.
Karirnya terus menanjak dengan pangkat letnan kolonel dan kolonel.
“Ekspedisi Pertama” ke Aceh
Jiwa Köhler mulai terguncang pasca keluar Keputusan Kerajaan Nomor 19 pada 7 Januari 1873. Padahal setelah itu pangkatnya naik menjadi mayor jenderal.
Ia risau dengan apa yang disebut pihak Belanda sebagai “Ekspedisi Pertama” ke Aceh. J.H.R. Köhler dipilih sebagai panglima komando perang.
Köhler lalu berlayar ke pesisir Aceh dengan membawa 140 perwira Eropa dan 28 bumiputera, 1.098 pasukan bawahan asal Eropa dan 2.100 bumiputera, 31 ekor kuda untuk perwira, dan 149 ekor kuda untuk pasukan.
Hindia Belanda ikut membawa 1.000 pekerja paksa dengan 50 mandor, 220 orang perempuan bumiputera atau 8 orang untuk tiap kompi, dan 300 laki-laki bumiputera yang bertugas sebagai pelayan pembantu para perwira.
Dalam catatan buku Dutch Colonial War in Acheh (1990), mengutip dari Tirto, Köhler bersama pasukannya mulai mendarat di Panté Ceuremèn, Aceh (Ulee Lheu) pada Senin pagi, 6 April 1873.
Saat itu komando armada laut Hindia Belanda adalah Kapten Laut JF Koopman.
Köhler sebenarnya tidak punya informasi apapun yang terperinci tentang Aceh. Walau sebelumnya kapal perang Citadel van Antwerpen telah hampir dua pekan berlabuh di pesisir Pantè Ceureumén.
Citadel van Antwerpen membawa surat-surat bernada ancaman yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Hindia Belanda Jenderal Frederik Nicolass Nieuwenhuijzen. Mewakili Kerajaan Belanda.
Saat itu, Aceh masih dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah.
Dalam tulisan surat-surat Sultan Aceh vs Belanda menjelang perang, Sultan Aceh secara tegas menolak untuk mengakui kedaulatan Sri Paduka Raja Belanda terhadap Aceh.
Surat terakhirnya pada 1 April 1873 menyulut amarah besar pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Sultan Alaidin Mahmudsyah menulis,
“Kami sangat paham isi surat yang gubernemen Belanda kirim. …kami ingin kembali mengemukakan bahwa di pihak kami tidak ada niat sedikitpun untuk mengubah persahabatan yang sudah terjalin. Kami hanyalah seorang miskin yang tunduk dan hanya menghambakan diri kepada Allah Subhanahuwa ta’ala. Akhirulkalam, sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian.”
SULTAN ALAIDIN MAHMUDSYAH
MASJID DISANGKA ISTANA
Ketika Kerajaan Belanda mengutus J.H.R. Köhler ke Aceh, ia hanya punya informasi bahwa istana Kerajaan Aceh adalah bangunan yang megah dan luas. Terdiri dari perkampungan penduduk, areal persawahan, alun-alun dan pusat pasar. Hingga didiami oleh sekitar 6 ribu jiwa penghuni istana.
Tidak mengherankan jika Köhler lalu menyerang Masjid Raya Baiturrahman yang ia kira adalah benteng istana Kerajaan Aceh.
Pertempuran darat berlangsung sengit selama empat hari berturut-turut, 6 – 10 April tahun 1873. Köhler dan pasukannya berhasil merebut Masjid Jamik Baiturrahman.
Tetapi tak sampai 24 jam para pejuang kembali merebut masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu.
Köhler dan pasukannya yang terlihat sudah terlalu letih kemudian memilih mundur ke kapal perang mereka.
Butuh waktu empat hari bagi Köhler untuk kembali mempersiapkan serangan ke daratan Aceh. Ia datang dengan kekuatan penuh. Köhler sadar peperangan ini tidaklah sederhana.
Terlebih tentang sebutan kaphè (kafir) Belanda yang memantik semangat jihad para pejuang Aceh.
Serangan yang berlangsung 14 April itu menyebabkan Köhler akhirnya tewas terkena peluru sniper tepat di jantungnya.
“O, God, ik ben getroffen!” “O Tuhan, saya terkena peluru!” Ia berteriak sambil berlari ke arah pohon Geulumpang. Nafasnya terengah-engah. Seketika ia tewas. Tak lagi mampu berpongah-pongah.
Para tentara Hindia Belanda yang mendengar teriakan Köhler merangsek mundur ke arahnya. Tak terkecuali Kolonel van Daalen. Semangat mereka melemah. Menyatakan mundur dan membopong mayat Köhler kembali ke kapal perang di pesisir Aceh.
Pada 16 April setelah Köhler tewas, Kolonel van Daalen mencoba kembali menyerang. Nasib malang kembali terjadi setelah 100 orang tewas dan luka-luka.
Belanda kembali menderita kerugian besar.
*
Tewasnya Köhler juga membuat raja Belanda bersedih.
Sebulan kemudian atau 18 Mei 1873, Raja Willem III mengunjungi ayah sang Jenderal Mayor di Groningen.
Nasib Malang Köhler
Dari pesisir Aceh, Pemerintah Hindia Belanda membawa mayat Köhler ke Singapura dengan kapal uap Koning der Nederlanden. Tetapi ia kemudian malah dimakamkan di Pemakaman orang Eropa, Tanah Abang, Batavia (Jakarta).
*
Pemerintah memutuskan menggusurnya tahun 1976. Termasuk makam Köhler. Belakangan pemakaman di Tanah Abang tersebut dijadikan Taman Makam Prasasti. Mayatnya sempat terkatung-katung selama dua tahun di Kedutaan Besar Belanda.
Gubernur Aceh saat itu, Muzakkir Walad lalu mengusulkan untuk memakamkan kembali mayat Köhler yang telah menjadi tulang belulang itu di Kerkhoff, Banda Aceh.
Kerajaan Belanda setuju dengan usul tersebut. Tulang belulang Köhler yang berada di dalam peti berbendera negeri kincir air itu lalu dibawa ke Aceh.
Atase Militer Kedutaan Besar Belanda di Jakarta saat itu, Kolonel J. Linzel ikut hadir menyaksikan “penguburan kembali Köhler” setelah 105 tahun tewas di bawah pohon Geulumpang.
Dari Aceh hadir Gubernur Muzakkir Walad dan Walikota Djakfar Ahmad.
Bukti bahwa Köhler seorang Yahudi terlihat dari sejumlah pahatan pada nisannya di Kompleks Kerkhof Peu Tjut. Seperti bintang David, the Iron Cross maupun Ouroboros yang menandakan bahwa Köhler bukan Yahudi biasa.
Tak hanya itu, 14 Agustus 1988, Gubernur Ibrahim Hasan juga membuat monumen peringatan di tempat tewasnya Köhler.
[BERSAMBUNG] : Makna Sejumlah Simbol pada Nisan J.H.R Köhler.