DARIACEH: Pocut Meurah Intan memilih bercerai dengan Tuanku Abdul Majid, anggota keluarga Kesultanan Aceh karena menyerah kepada Belanda. Ia lalu berjuang bersama tiga anaknya. Dengan bersenjata rencong, Pocut berhasil menusuk hampir seluruh pasukan Kops Militer Marsose Belanda.
Tetapi 18 Marsose terlalu kuat untuk ia lawan sendiri. Seluruh tubuhnya berlumuran darah. Urat keningnya putus. Mbah Cut lalu diasingkan ke Blora, Jawa Tengah.
Marsose adalah pasukan khusus yang dibentuk Belanda untuk mengantisipasi dan melawan taktik perang gerilya pejuang Aceh dari tahun 1890-1942.
Baca juga: Kisah Cinta Ratu Safiatuddin dan Tsani di Kerajaan Aceh
Pocut Meurah Intan mungkin tidak sefamiliar Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati atau Cut Meutia. Tetapi perjuangannya tidak kalah heroik dengan para pejuang perempuan Aceh lainnya.
Nasibnya sama persis seperti Cut Nyak Dhien. Belanda mengasingkan keduanya ke tanah Jawa.
Kelak keduanya sama-sama mencintai tanah Jawa.
Riwayat Perjuangan
Pocut meninggal pada 19 September 1937 dan dimakamkan di Desa Temurejo. Kira-kira 5 kilometer arah Utara alun-alun Kota Blora. Dari Semarang jaraknya mencapai 150 kilometer ke arah Timur. Tetapi waktu tempuh bisa lebih singkat atau hanya 1,5 jam bila menggunakan jalur tol.
Menurut catatan sejarah yang ada, Mbah Cut, panggilan dari orang Desa Temurejo, lahir pada tahun 1833 di Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Pidie saat ini. Ia adalah puteri bangsawan dari Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujreun Biheue.
Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, Biheue berada di bawah Wilayah Sagi XXII, Aceh Besar.
Namun, setelah krisis politik pada abad ke-19, Biheue yang merupakan pemerintahan keuleebalangan menjadi bagian Wilayah Sagi XXII Mukim, Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale, dan Laweung.
Baca juga: Banda Aceh Tahun 1621 Dalam Gambaran Laksamana Perancis
Dalam laporan Colonial Verslag yang terbit tahun 1905, Pocut Meurah Intan adalah satu-satunya keturunan Kesultanan Aceh yang belum menyerah hingga tahun 1904. Karena itu tidak mengherankan bila Belanda menurunkan pasukan militer khusus untuk mengejar Pocut.
Ia juga berhasil menanamkan ideologi jihad kepada tiga anaknya. Salah satunya Tuanku Muhammad Batee yang bergerilya di wilayah Tangse, Pidie. Tetapi nasibnya hampir sama dengan sang ibunda. Belanda berhasil mengendus tempat persembunyian Tuanku Muhammad Batee pada 19 April 1900.
Karena menganggapnya terlalu berbahaya, Belanda lalu mengasingkan Tuanku Muhammad Batee ke Tondano, Sulawesi Utara. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25, Pasal 47 R.R.
Tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee tidak menyurutkan semangat Pocut. Bersama Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, anaknya yang lain, ia bergerilya dan bermarkas di kawasan Padang Tiji.
Pocut Meurah Intan Tertangkap
Belanda lalu meningkatkan intensitas operasi militer. Veltman, Komandan Kops Militer Marsose berhasil mengepung tempat persembunyian Pocut. Untuk operasi yang tidak main-main itu, Belanda menyiapkan 18 anggota militer Marsose khusus untuk menangkapnya.
Pocut berhasil menusuk sejumlah pasukan Marsose sebelum akhirnya jatuh bersimbah darah. Belanda menumpukkan kotoran sapi pada lukanya. Ia mengalami luka parah. Dua luka meremas otot kepalanya. Mengucur deras darah segar bersama dua luka lainnya di bahu. Satu urat kening Pocut putus. Tubuhnya menggigil karena kehilangan banyak darah.
Veltmen sampai menggelar Pocut Meurah Intan dengan sebutan ‘Heldhafting’ atau ‘Yang Gagah Berani’ karena perjuangannya yang pantang menyerah.
Penyembuhan lukanya berjalan lama hingga ia menjadi pincang.
Pada operasi tersebut, Belanda juga berhasil menawan putra Pocut bernama Tuanku Budiman. Sementara seorang putranya yang lain, Tuanku Nurdin berhasil lolos dan memimpin pasukan pejuang lainnya di kawasan Laweung dan Kalee.
Diasingkan ke Blora
Belanda lalu menjebloskan Pocut bersama anaknya, Tuanku Budiman ke penjara di Kutaraja.
Kisah ini terarsip di Wayback Machine yang ditulis Sinar Mutiasari dan tayang di Wikipedia.
Operasi selenjutnya dari Pasukan Marsose adalah memburu putranya yang lain, Tuanku Nurdin. Belanda memainkan taktik dengan menangkap isterinya pada Desember 1904 agar ia mau menyerah. Tetapi hal itu ternyata tidak berhasil.
Ia baru tertangkap pada tanggal 15 Februari 1905 di Desa Lhok Kaju.
Pasca tertangkapnya Tuanku Nurdini, Belanda lalu menerbitkan Surat Keuputusan No. 24, tanggal 6 Mei 1905. Memutuskan mengasingkan Pocut Meurah Intan, kedua anaknya dan seorang anggota keluarga Sultan Kerajaan Aceh, Tuanku Ibrahim ke Blora.