Sebelum menemukan kitab-kitab karangan Syiah Kuala, profesor A. Meursinge asal Kininklijke Academie Delft sekitar tahun 1844 mengeluhkan kurangnya bahan-bahan kuliah tentang hukum Islam untuk dipelajari secara akademis.
Belakangan setelah seorang guru besar dari kalangan pejabat Belanda yang pernah datang ke Indonesia, Reinwardt memperkenalkan karya Syiah Kuala, Profesor Meursinge menjadi begitu bersemangat.
Ia lalu menerbitkan Handboek van het Muhammedaansche Regt berisi karya Syiah Kuala yang berjudul, “Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh untuk Memudahkan Syara’ Allah.” Hal ini juga menjadi titik awal pemikiran Syiah Kuala mulai terkenal di dunia Barat.
Memasuki abad ke-20, Snouck Hurgronje tidak kalah dalam mempelajari kitab karangan Syiah Kuala, Umdatul ‘l Muhtajin. Ia ingin mengetahui apa sebenarnya yang membuat rakyat Aceh sangat benci terhadap kolonialisme Belanda.
Snouck berpandangan bahwa dalam mengarang kitab Umdatul ‘l Muhtajin, Syiah Kuala terpengaruh oleh ajaran gurunya Syekh Ahmad Kusyasyi, seorang ulama pengembang tarekat syatariah.
More Coverage:
Ulama Pemegang Sah Mandat Kesultanan Aceh?
Syiah Kuala bagi Snouck adalah sosok yang mampu mengajarkan ajaran Islam secara mendalam dan memberi dampak besar terhadap rakyat Aceh. Pengaruhnya bahkan dapat dilihat ketika ulama bermazhab Syafi’i di Aceh menempatkan beliau pada silsilah utama para ulama ahlussunnah wal jama’ah.
Terlepas dari pro dan kontra, seorang peneliti Belanda lainnya, D.A. Rinkes pada tahun 1909 ikut meneliti karya Syiah Kuala untuk mengetahui apa yang mereka (Belanda) yakini sebagai fanatisme agama di Aceh.
Hingga karena keterbatasan daya nalar dan analoginya, Rinkes sampai menyebutnya “perkembangan mistis” di Sumatera dan Jawa setelah kemunculan Syiah Kuala. Ia membuat penelitian doktoralnya yang berjudul, “Abdoerraoef van Singkel, Brijdrage tot de kennis van de mystiek op Sumatra en Java.”
Riden mengkaji banyak kitab karya Syiah Kuala, seperti Kifayat Al-Muhtadin. Termasuk kitab dalam bahasa Melayu setebal 50 bab tentang tuntunan-tuntunan.
19 Tahun di Arab
Sebelum pulang ke Aceh sekitar tahun 1661, saat pemerintahan Sultanah Taj Alam (Ratu) Safiatuddin, Syiah Kuala yang bernama asli Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri (selanjutnya disebut: Syekh Abdul Rauf) telah menuntut ilmu ke Arab selama 19 tahun lamanya.
Pada saat itupula, Nuruddin Ar-Raniry (Syekh Ar-Raniry) masih berada di Aceh. Ulama asal Gujarat, India yang mendapat kepercayaan penuh dari Sultan Iskandar Tsani, sultan sebelum Sultanah Taj Alam Safiatuddin.
Sultanah Taj Alam Safiatuddin sendiri adalah janda dari mendiang Sultan Iskandar Tsani.
Pada masa Sultan Iskandar Tsani inipulalah Syekh Ar-Raniry memerintah membakar kitab-kitab karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani yang disebut juga Syamsuddin Pasai. Terutama terkait pemikiran wujudiyah.
Syekh Ar-Raniry mengkritik konsep imanensi Hamzah Fansuri. Dalam pandangannya, Tuhan adalah transenden, yaitu tidak mungkin dapat bermaqam dalam diri makhluk, sehingga Tuhan sama sekali berbeda dengan makhluk. Imanensi adalah lawannya transenden.
Untuk mengantisipasi pengaruh konsep imanensi terhadap rakyat Aceh, Syekh Ar-Raniry menerapkan dua strategi, yaitu: pertama, berdebat secara intelektual dengan pengikut Hamzah Fansuri, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani; Kedua, menggunakan kekuasaan dengan mempengaruhi sultan untuk membakar kitab-kitab karya Hamzah Fansuri.
Syekh Nuruddin Ar-Raniry merupakan seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i.
More Coverage:
Perang Aceh dan Cara Teuku Umar Memperlakukan Perempuan Amerika
Syekh Abdul Rauf mengetahui dan masih berusia muda saat peristiwa itu terjadi. Menurut berbagai catatan sejarah, peristiwa itu menjadi salah satu sebab yang menguatkan tekad Syekh Abdul Rauf untuk tidak hanya belajar Islam di Aceh, tetapi langsung dari sumbernya di tanah suci, Mekkah dan Madinah.
Saat beliau pergi ke Arab tahun 1642, tampuk pimpinan Kerajaan Aceh telah berpindah ke Ratu Safiatuddin. Sepeninggal mendiang suaminya, Sultan Iskandar Tsani. Syekh Abdul Rauf ingin menghilangkan keraguan atas setiap ilmu yang beliau pelajari.
Di tanah suci, Syekh Abdul Rauf berguru pada Syekh Ahmad Al-Kusyayi hingga gurunya yang terakhir, seorang mullah asal Madinah, Syekh Ibrahim Al-Kurani atau yang juga terkenal dengan sebutan Mullah Ibrahim.
Menurut Rinkes, beliau belajar pada sekitar 61 tokoh yang mewakili dari berbagai disiplin ilmu yang mencakup, tarikh, fiqh, ushuluddin, dan tasawuf.
Kritik Ar-Raniry
Dr. Voorhoeve dalam bukunya Van en over Nuruddin Ar-Raniry, pernah menulis pendapat Mullah Ibrahim, guru terakhir Abdul Rauf tentang tepat atau tidaknya membakar kitab-kitab di Aceh yang pengarangnya dinilai sesat.
Voorhoeve menilai pendapat Mullah Ibrahim muncul karena adanya pertanyaan dari Syekh Abdul Rauf. Dalam pandangannya, beliau tidak terlalu suka pada sikap fanatisme, sekalipun untuk menghantam orang yang dianggap sesat. Hal itupula, menurut Voorhoeve yang melatar belakangi sikap diam dan tanpa berkomentar Syekh Abdul Rauf atas tindakan Syekh Ar-Raniry.
Mullah Ibrahim sendiri memberi jawaban yang memuji ketajaman pemikiran Syekh Ar-Raniry di satu sisi, tetapi mengkritik cara yang beliau tempuh pada sisi yang lain. Syekh Abdul Rauf sendiri, menurut Voorhoeve sepahaman dengan guru beliau, Mullah Ibrahim.
Voorhoeve, mengutip buku Aceh Sepanjang Abad, karya wartawan pejuang H. Mohammad Said, menulis terkait jawaban Mullah Ibrahim, “Hij doet aan Ar-Ranir’s scherpzinnige redenering voorhehoud zijn onbarmhartigheid op tegen lieden die blijkens hun godsvrucht en mystieke kennis zijn geloofsgenoten waren.”
Mullah Ibrahim memuji ketajaman pemikiran Syekh Ar-Raniry, tetapi menyalahkan beliau yang menunjukkan kekejamannya dan tanpa punya tindakan cadangan terhadap tokoh-tokoh yang justru se-iman dan sepaham.