DARIACEH: Directorate of State Archives atau Badan Arsip Negara yang ada di Turki menyimpan sekitar 154 dokumen manuskrip surat menyurat antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Utsmaniyah (Aceh-Utsmaniyah).
Manuskrip tersebut merupakan surat menyurat (korespondensi) antara kurun waktu 1567-1900 Masehi.
Mengutip Anadolu Agency, hingga saat ini, naskah asli korespondensi tersebut masih tersimpan di Badan Arsip Negara Turki.
Versi Prof Ismail Hakki Kadi
Meski demikian, pakar sejarah Utsmaniyah dari Istanbul Medeniyet University, Prof Dr Ismail Hakki Kadi malah mengatakan hubungan Aceh-Utsmaniyah telah terjalin lebih awal.
Prof Hakki Kadi pada tahun 2020 lalu juga pernah meneliti tentang, An Old Ally Revisited: Diplomatic Interactions Between the Ottoman Empire and the Sultanate of Aceh in the Face of Dutch Colonial Expansion.
Baca juga: Dialog Mengharukan Sultan Iskandar Muda – Putroe Phang
Ia menyebutnya sebagai sekutu lama. Sebuah penelitian tentang interaksi diplomatik antara Aceh-Utsmaniyah dalam menghadapi kolonial Belanda.
Menurut Prof Hakki Kadi, ia mempunyai sumber-sumber yang menerangkan bahwa sejak tahun 1530 utusan Aceh mulai terlihat di Istanbul, Turki.
Utusan Aceh itu datang untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman). Sekaligus meminta bantuan untuk menghadapi imperialisme Portugis.
Hubungan itu terus berlanjut, Aceh kembali meminta bantuan Utsmaniyah pada tahun 1848-1850.
Karena spesialnya hubungan Aceh-Utsmaniyah, malah pada abad ke-16, di wilayah nusantara, Utsmaniyah hanya menjalin kerjasama dengan Aceh.
Hal ini tidak terlepas dari struktur politik kawasan pada periode tersebut, terkait koalisi politik untuk melawan kolonialisme Portugis.
Aceh “Ace Padisahi” atau “Vassal” Utsmani?
Sangat jelas bahwa Utsmaniyah pada abad ke-16 adalah sekutu Aceh di wilayah Nusantara. Malah bila melihat sumber Utsmani, kata Prof Hakki Kadi, tercantum bahwa ada dua pemimpin kerajaan yang posisinya setara.
Dalam dokumen Utsmani itu, lanjut dia, sultan Aceh disebut sebagai “Açe Padişahı” atau Raja Aceh. Terminologi ‘padişah’ dalam arsip Utsmani adalah ungkapan untuk pemimpin yang setara dengan raja Kesultanan Utsmaniyah.
Namun pada abad ke-19, dalam surat yang dikirim utusan Aceh ke Istanbul, Aceh menyebut diri sebagai bagian atau vassal Utsmaniyah sejak abad ke-16.
Surat itu berisi permintaan pertolongan dari Utsmaniyah untuk melawan Belanda pada 1848-1849.
Prof Hakki Kadi menambahkan, Sultan Aceh Mansur Syah dan sultan setelahnya mengungkapkan bahwa Aceh adalah bagian dari khilafah Utsmaniyah.
Tetapi, ia menjelaskan bahwa bahasa dalam arsip Utsmani abad ke-16 hubungan kerjasama antara Aceh-Utmaniyah adalah kerjasama dua pemimpin kerajaan yang posisinya setara.
Hal ini bisa dipahami karena posisi Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) saat itu merupakan salah satu pusat kekuatan dunia.