Dengan agak sedikit tergopoh-gopoh saya menyusul sosok ketua MPU Aceh dari belakang. Bayang tubuhnya yang disinari temaram lampu terlihat menunduk. “Maaf, hari ini saya sudah agak lelah. Dari pagi rapat hingga sore,” kata beliau.
Beberapa agenda rapat pimpinan menguras energinya. Raut wajah ulama bernama lengkap Prof Dr Tgk H Muslim Ibrahim MA itu terlihat letih. Usianya memang tak lagi muda. Salah satu agenda beliau adalah mengoreksi bahasa di dalam draf fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Pertemuan tersebut sekaligus menjadi iteraksi terakhir saya dengannya. Prof Muslim menempuh pendidikan sarjana hingga doktor di Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.
More Coverage:
Syiah Kuala Kritik Sikap Fanatisme Ar-Raniry
“Dari mana?” tanya beliau.
“Bireuen, Abu!” Wajah beliau menengadah ke atas saya. Bireuen berjarak sekitar 220 kilometer arah Timur Kota Banda Aceh. Butuh waktu 5 jam perjalanan untuk bisa sampai ke ibukota Provinsi Aceh ini.
Saat masuk kembali ke ruang kerjanya, beliau sibuk merapikan meja dari kertas yang bertumpuk. Mencari celah agar ada ruang untuk menaruh map yang baru saja beliau bawa dari ruang rapat.
“Silahkan duduk!” tuturnya. Saya berusaha meyakinkan diri untuk duduk. Rasanya saya akan menambah keletihan beliau hari ini. Diantara rasa bersalah dan motivasi mengejar sumber. Akhirnya saya duduk juga. Hari itu tanggal 2 Juli 2019.
Saya berusaha mencari pertanyaan ringkas dengan jawaban singkat yang bisa saya prediksi. Tetapi bagi seorang jurnalis seperti saya, legalisasi data dari pejabat yang berwenang lebih penting dari data itu sendiri.
Analogi ‘kereta api’
Diskusi kami sore itu mulai merambah isu-isu yang berat. Pendangkalan aqidah dan syariat Islam. Sesekali beliau menjawab dengan kalimat-kalimat analogi. Memberi perumpamaan terhadap dua hal yang berlainan.
Sikap beliau ini membuat saya makin sadar kenapa banyak orang akhirnya mempertahankan beliau tetap berkiprah di MPU Aceh. Logikanya masih sangat jalan saat sedang letih sekalipun.
Paham cara mengistirahatkan pikiran sejenak dengan analogi.
Saya mencoba memberi jeda yang agak lama ketika sadar waktu 30 menit yang kami sepakti telah berakhir. Suasana sejenak menjadi hening. Saya tidak melanjutkan untuk bertanya. Bersiap-siap memutuskan menyudahi diskusi sore itu, atau menunggu reaksi dari ulama yang juga menjadi anggota Majelis Ulama ASEAN ini.
“Yang paling berat dari syariat Islam ini adalah menggerakkan kemitraan. Seperti ‘kereta api’.” Beliau memutuskan melanjutkan diskusi kami setelah menandatangani beberapa dokumen.
Analogi “kereta api” inilah yang kemudian paling membekas diingat saya. “Di Aceh ini banyak unsur-unsur pikiran yang harus dipikirkan,” lanjutnya.
Karena itulah pola kemitraan selalu saja menjadi hambatan di provinsi dengan qanun (peraturan daerah) syariat Islam ini.
“Banyak unsur pikiran yang harus dipikirkan. Kalau MPU lebih gampang. Hanya merujuk pada Al-Quran dan hadist. Tinggal lagi bagaimana menyampaikan,” kata beliau menbandingkan.
Prof Muslim mencontohkan pola kemitraan antara MPU dengan Pemerintah Aceh yang belum berjalan sebagaimana amanah qanun.
“Ibarat ‘kereta api’. Saat pertama digerakkan ia pelan-pelan dan butuh kekuatan yang besar. Tetapi kalau sudah bergerak lancar jalannya,” jelas ulama yang memimpin MPU Aceh sejak tahun 2001 ini.
Bukan benci kepada orangnya
Pakar di bidang fiqih ini juga mendorong untuk menyempurnakan kembali aturan yang sudah ada terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Ajakan untuk kembali pada fatwa ulama juga beliau sampaikan kepada pemerintah dan lembaga legislatif (DPRA). “Itu yang seharusnya menjadi dasar hukum dan kebijakan Pemerintah dan lembaga legislatif di Aceh,” tegas Prof Muslim.
Beliau menjelaskan bahwa dasar fatwa adalah Al-Quran, hadist, ijma’ dan qiyas. Fatwa menjadi solusi atas masalah-masalah yang dipersoalkan ummat.
MPU itu, lanjutnya, memperjelas masalah dan melahirkan dasar-dasar hukum dari sisi agama. Legislatif membuat aturannya. Pemerintah menjalankan.
More Coverage:
Ulama Pemegang Sah Mandat Kesultanan Aceh?
“Adalah tugas MPU untuk membantu masyakat menjalankan kewajibannya dengan benar dan bertanggungawab atas syariat Islam,” jelasnya.
“Tetapi kendala utamanya (syariat Islam, Red) adalah dalam hal penganggaran di legislatif. Tetapi barangkali mereka punya program-program lain yang ingin diprioritaskan,” lanjut beliau.
Prof Muslim juga mengingatkan tentang pentingnya pendidikan Islam dan penguatan aqidah menjadi bagian dari keseharian masyarakat.
“Ulama berharap kesadaran pemerintah untuk mendidik masyarakat berdasarkan fatwa-fatwa ulama,” tegasnya.
Pendangkalan dan penyimpangan aqidah dengan berbagai macam metode dan dalih, kata Prof Muslim, seharusnya juga menjadi perhatian Pemerintah Aceh. “MPU tidak benci kepada orang, tetapi ajaran-ajaran atau perilaku yang mereka kembangkan,” kata doktor fiqih perbandingan mazhab pertama di Asia Tenggara ini.
Prof Muslim wafat pada 12 Desember 2019 dalam usia 71 tahun. Memimpin shalat jenazah ulama yang menulis buku Konsep Senif Fi Sabilillah Dalam Perspektif Fiqh Muqaran ini adalah putra beliau, Muhammad Furqan. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.