PEMILU 2024., Banda Aceh – Intonasi bicaranya menekan lawan bicara. Ia baru kami kenal kembali setelah 10 tahun berlalu. Istri saya. Ia memang super ramah. Mudah sekali mengingat kembali wajah orang lain. Walau hanya pernah mengenal orang itu selama seminggu saja dalam sebuah forum pertemuan.
Ibu itu. Ia seorang istri pensiunan sebuah perusahaan pelat merah. Tetapi suaminya telah meninggal. Istri saya mengenalnya saat kami menetap di sebuah kota kecil di Aceh. Hari itu ia bertemu kembali dengannya saat kami telah pindah kembali ke ibukota provinsi ini. Banda Aceh. Mereka bertemu saat berbelanja kebutuhan dapur.
“Ini…, ada Caleg untuk Pemilu 2024.” Awalnya ia bicara agak ragu.
Istri saya malah tidak menanggapinya dan menawakan ibu itu kue timpan. Makanan khas orang Aceh yang dibalut daun pisang. Barang istimewa dan mahal di Eropa karena manfaatnya. Isinya srikaya, dikukus, dan dibuat menggunakan tepung.
More Coverage:
Mengupas Kembali Peutuah Abu Tumin tentang Malakat Kana Lam Jaroe…
“Enak ya! Manis dan lembut,” katanya. “Kayak apa itu ya….”
“Leumak ya, bu.” Saya yang sedari tadi pura-pura tidak peduli tersenyum geli. Istri saya sepertinya sulit menemukan padanan kata Indonesianya. Ia melirik ke arah saya. Tersenyum. Mengangguk-ngangguk sambil memegang kepalanya. Itu pertanda bahwa sebentar lagi ia pasti akan membawa-bawa nama saya.
Disebelahnya ada anak kami yang masih berusia 5 tahun. Si kakak dan abangnya yang tadi menutup gorden jendela saat ibu datang menghilang tiba-tiba. Mereka refleks katanya. Kami anak rantau. Biasanya mensugesti mereka begitu saat ditinggal di rumah tanpa orangtua.
Si ibu mulai berat menelan sisa timpan terakhir. Seperti lagi mencari padanan kata untuk melanjutkan pembicaraannya. Istri saya mencoba menawarkan air minum. Ia hampir lupa.
“Aqua ada?” tanyanya. Istri saya sedikit heran. “Kalau tidak ada nggak usah,” lanjut ibu itu.
“Ada,” jawabnya. “Akal-akalan ini,” bisisk saya di dalam hati.
Di rumah kami kebetulan ada banyak galon Aqua. Salah satu penutupnya memang punya Aqua yang asli. Tidak pernah dibuang. Biasanya kami akan memakai penutup itu ke Aqua mana saja yang kami suka bila ingin menukar galon air Aqua.
“Heee… heee…,” akal bulus melawan orang yang “bulus.”
“Sudah ada calon?” tanyanya.
“Anak perempuan kami masih SMP, bu,” jawab istri saya.
Saya yang lagi minum kopi tiba-tiba saja tersendak tidak sanggup menahan tawa. Semburan airnya hampir mengenai ibu itu. Istri saya bergegas menepuk dibagian punggung dan pergi membawakan air putih. Bukan Aqua.
Ibu itu mulai tidak betah. “Jadi gimana ini, saya boleh lanjut bicara?”
“Bicara apa, ibu?” Istri saya yang sedari tadi menepuk-nepuk punggung saya kembali duduk di dekat ibu itu.
“Jadi mau memilih Caleg kami tidak?” Intonasinya mulai menekan. Ibu itu mengenal isti saya sebagai seorang ibu rumah tangga. Tidak tau juga bagaimana ia mempersepsikan tentang latar belakang pendidikannya.
“Satu paket, lho. Sama DPRA dan DPR RI,” katanya. “Lumayan!” lanjut ibu itu.
Saya mencoba melirik. Tensi istri saya mulai naik. Saya harus siap-siap menjadi kambing hitam. Lawannya kari kambing, “hee… heee…”
More Coverage:
Nyanyian Sang Kekasih di Negeri Kaitetu
Istri saya dulu pengajar di dua perguruan tinggi di Banda Aceh. Satu berstatus negeri dan satunya swasta. Ia mundur karena desakan saya yang takut tersaingi. Tetapi ia paham. Ibu itu adalah madrasah yang utama bagi anak-anaknya. Ia belajar tinggi, tetapi anaknya malah diajarkan oleh lulusan SD.
“Tanya Bapak dulu, ibu ya.” Nah, lho. Sudah mulai.
“Maaf, ibu. KTP KAMI MASIH MERAH PUTIH,” jawab saya sambil melentangkan tepalak tangan tanda permintaan maaf.
Pada masa darurat militer, rakyat Aceh diwajibkan memiliki KTP Merah Putih. Tetapi kali ini bukan itu maksud saya. Idiom KTP Merah Putih menandakan bahwa hati dan pilihan kami untuk Indonesia. BUKAN POLITIK UANG. Apalagi untuk Pemilu 2024
Ibu itu bergegas pamit. Istri saya menyusul dari belakang dengan cepat. Di luar saya mengintip istri saya bicara panjang lebar. Sesekali mereka tertawa lebar. Akhirnya mereka malah bicara lebih lama di luar rumah.
“Laki-laki memang begitu…”
BERSAMBUNG…