DARIACEH: Kekalahan Aceh atas Kolonial Belanda tahun 1908 menjadi alasan utama kenapa orang Aceh dan sejumlah ulama saat itu bermigrasi ke Malaysia.
Zentgraaf, seorang wartawan Belanda dalam bukunya De Acehers pernah menulis,
“…tidak ada bangsa yang begitu antusias dan fanatik menghadapi musuh selain rakyat Aceh. Wanita jauh lebih unggul dari semua bangsa lain dalam keberanian kematian.”
Ibu-ibu muda sering meninabobokkan anak-anak mereka dengan lagu,
“Susu lemak mani, santan kelapa muda, Anak jangan menangis, bila besar bunuh Belanda.”
Ulama Aceh saat itu tidak rela hidup dan berada di bawah kekuasaan Kolonialisme Belanda. Mereka lalu memutuskan bermigrasi. Mereka memilih Yan karena alasan paling dekat dengan Aceh.
The Journal of Social Sciences Research mempublikasikan bahwa Malaysia mempunyai kedekatan sejarah dengan Aceh. Terutama masa Sultan Iskandar Muda.
Fase terbanyak masyarakat Aceh yang bermigrasi ke Yan terjadi antara tahun 1900 – 1960.
Tahun 1900, di bawah pimpinan Tengku Arshad dengan gelar Tengku di Balai bermigrasi ke Yan. Beliau adalah seorang ulama tersohor saat itu.
Tengku di Balai membawa keluarga dan murid-muridnya. Laki-laki yang ingin belajar agama Islam bersamanya. Karena itulah banyak orang Aceh di Malaysia hingga kini.
Awalnya mereka mendarat Kampung Ruat, selatan kota Yan. Setelah tinggal di sana selama tujuh tahun, orang Aceh di Malaysia itu lalu memutuskan pindah menuju Lubuk Kasai.
Lubuk Kasai merupakan sebuah wilayah yang dikelilingi Hutan Lebat. Meski demikian, alamnya sangat asri.
Perbekalan hidup juga sangat mudah didapat. Apalagi tanahnya yang subur dengan air yang mengalir dari Gunung Jerai. Karena itu Tengku di Balai dan para pengikutnya senang tinggal di sana.
Orang-orang Aceh di sana lalu menanam lada hitam dan padi. Mendirikan meunasah untuk tempat laki-laki lajang.
Segera setelah itu, banyak kerabat bermigrasi ke Yan.
Back to: Home