”Bagaimana kalau kebahagian jiwa adalah penyatuan dua jiwa.” Diwa tersentak. Berbalik. Menatap gadis pujaan hatinya dalam kesedihan mendalam. ”Dasar cowok nggak pernah percaya diri!” seru Bunga. Lama diantara keduanya terdiam.
Dengan ketidaksempurnaan fisiknya, sejak kecil (1987), di kampungnya Desa Sagoe, kepercayaan diri Teungku Malem Diwa sering down. Ditengah pengaruh lingkungan dan konflik (DOM) Aceh, kondisi jiwanya terus tergerus metamorfosis kehidupan. Awalnya ia merasakan seperti orang gila. Lambat laun giliran jiwa dan pikirannya tertusuk-tusuk duri sindrom kematian. Bisikan-bisikan maut yang berawal saat ia melintasi tanah para mafia konflik. Ia menjadi sesosok hamba Tuhan yang sama sekali tak bisa menikmati hidup. Seorang gadis cilik kemudian datang memberikan pancaran cahaya-Nya. Membasuh duka dihatinya. Tapi ia hanya datang sesaat. Lalu pergi tanpa tau rimbanya. Ia kembali nestapa setelah surat-surat misterius yang diterimanya tanpa berkesudahan. Hingga ia beranjak dewasa dan pindah ke Banda Aceh (1999). Seorang perempuan Tuhan lainnya tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Bunga Jeumpa Al-Asywaq. Ia menyenandungkan filosofi-filosofi hidup, sekaligus membawa persoalan baru bagi Teungku Malem Diwa. Tapi siapa sebenarnya Bunga Jeumpa Al-Asywaq? Adakah ia kaitannya dengan surat-surat misterius itu? Ataukah jelmaan gadis cilik yang dulunya menghilang?
Novel ini juga akan mengajak kita berseteru dengan pulau Sumatera dan Batavia. Membongkar misteri dengan cinta di Esplanade Singapura. Hingga bertransaksi di Walking Street Pattaya Thailand.
Konflik politik. Kegagalan merajut masa depan. Nafsu cinta dan penderitaan menderu menjadi satu.
***
“Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini karena tubuh menikmatinya. Begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan, seringkali terasa menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi setelah meninggal, kepahitan akibat dosa akan benar-benar dirasakan karena sudah tak ada lagi tubuh yang menghalanginya. Begitu pula dengan pahala. Pahala akan kita rasakan kenikmatannya. Maka saat itu dosa kitalah yang akan menyiksa kita. Bukan Tuhan.”
—Al-Farabi, Failasuf Islam
”…cermin kebijaksanaan hidup orang Aceh.”
—Hasbi Abdullah, Ketua DPR Aceh
”Menggoda. Karakter yang membekas diingatan. Teungkumalemi adalah jurnalis yang menemukan cinta dari tulisan-tulisannya.”
—Nezar Patria, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
”Filosofis. Mengkritisi keluhan hidup manusia sehari-hari. Membangkitkan nilai-nilai futuwwah; kekesatriaan spiritual; atau spiritual warriorship.”
—Syamsul Rijal Sys, Doktor Filsafat Islam IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
”…rayuan yang menghangatkan jiwa penderita sindrom kematian….”
—dr. Kris, Sp. Kj, Psikiater
”Abang menulis kembali kisah hidupnya. Membasuh dahaga jiwa kami.”
—Erwin Saputra, Karyawan PT PLN. Adik kandung Teungkumalemi