“Saat satu rezim tidak lagi menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus berjuang untuk pembaharuan….” — Love in Singapore (dalam novel Jiwa yang Termaafkan)
Suasana Bandar Udara Sultan Iskandar Muda belum begitu sibuk. Awan gelap juga masih menyelimuti dataran tinggi pinggiran Kota Banda Aceh itu.
Diwa menggenggam jemari-jemari lentik Bunga. Ia menoleh. Lagi-lagi sebuah senyuman manis membuat hati Diwa bergetar.
Tas ransel besar bergelantung di bahunya. Bunga hanya menjinjing sebuah tas kecil. Perjalanan mereka ke Singapura separuhnya dibiayai perusahaan media tempat Diwa bekerja. Itu karena Diwa akan ikut menulis beberapa artikel.
Pesawat berangkat pukul 08.30 pagi dan akan transit di Bandara Polonia Medan Sumatera Utara sebelum kembali terbang ke Bandara Changi Singapura.
Pramugari mulai memperagakan cara penggunaan sabuk pengaman dan standar keselamatan lainnya. Seperti cara memakai alat pernafasan pada kondisi hampa udara dan penggunaan pelampung pada saat pendaratan darurat di air.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi saat pesawat yang membawa Bunga dan Diwa bersama 127 penumpang lainnya mendarat di Bandara Polonia. Sebenarnya hanya butuh waktu sekitar 45-55 menit bila kondisi normal. Tetapi cuaca sedang tidak bersahabat.
Bandara Polonia lebih ramai dari Sultan Iskandar Muda karena melayani beberapa rute penerbangan domestik dan internasional. Termasuk ke Bandara Changi, Singapura.
*
Diwa dan Bunga menuju Balai imigrasi begitu sampai di Bandara Changi. Mengikuti arah petunjuk, ’Arrival’.
Mereka mengantri di jalur warga negara asing. Usai pemeriksaan paspor dan surat-surat pendukung lainnya, keduanya memilih melewati lajur hijau. Karena merasa tak membawa barang-barang wajib pajak.
Diwa berusaha mengontak seorang kawannya. Namanya Ronald. Ia juga berprofesi sebagai jurnalis. Mereka berkenalan waktu Ronald datang ke Banda Aceh untuk sebuah tugas jurnalistik dari kantornya. Ronald datang bersama isteri dan putri mereka yang masih beumur sekitar empat tahun.
Singapura termasuk negara yang menerapkan no duty free untuk rokok. Kita harus bayar cukai kalau membawa rokok masuk ke Singapura. Syukur Diwa bukan perokok. Harga rokok di Singapura juga berkali-kali lipat bila dibandingkan di Indonesia.
“Mungkin supaya warga negaranya nggak demen ngerokok kayak penduduk Indonesia kali ye?” Diwa bingung sendiri ketika mengetahui aturan itu.
“Diwa! seru Ronald.
“Hei!“ Tangan Ronald dan Diwa beradu membentuk salam komando ala tentara.
“Eh. Kenali. Ini isteri saya. Siti Alya dan ini anak saya Nurhaliza,” ujar Ronald. Sebenarnya ia orang Indonesia. Tetapi menikah dan kerja di Singapura.
“Jadi ngapain ni ke Singapura. Bulan madu?” tanyanya.
Diwa melirik ke arah Bunga. Itu sebenarnya hanya dalih Diwa. Mereka lantas tertawa berbarengan. Bunga dan Alya terlihat cepat akrab. Mereka bercakap dalam bahasa melayu. Diwa sendiri heran dari mana Bunga belajar bahasa dengan logat Melayu.
“Kita ke Orchard aja ya. Sekalian mencoba MRT,” ajak Ronald, ”Di sana ada banyak apartemen dengan harga terjangkau.”
“Ok.”
*
Ronald menjelaskan kawasan Orchard sebenarnya sudah terkenal bagi orang Indonesia. Terutama Lucky Plaza-nya. Harga sewa apartemen di sana mulai dari 40 hingga 80 Dollar Singapura per malam. Itu sama dengan harga sewa hotel. Orchard juga dikenal sebagai surganya belanja.
“Ntar, kalau mau cari barang murah sampai merk-merk kelas dunia gampang. Semua ada di Orchard,” jelas Ronald. Dari awal saat menghubungi Ronald dari telepon seluler, Diwa sudah meminta kawannya itu untuk mencari apartemen saja. Diwa takut kalau memilih hotel malah akan kepergok sama Abu.
“Kalau mau cari kawasan malam yang seperti di Mangga Besar Jakarta juga ada di sini.” Ronald aktif mempromosikan Singapura. Ia menyarankan Diwa dan Bunga untuk menginap di Geylang.
Tetapi Ronald mengingatkan, Geylang tidak tercantum sebagai nama stasion. Seperti halnya Orchard. Untuk sampai ke Geyland, bisa turun di stasiun Aljunied. Lalu jalan kaki sekitar 5 sampai 10 menit menyusuri Lorong 22, 20, 18, dan 16.
“Nggak usah takut tersesat. Dari ujung ke ujung negara ini bisa ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan dengan mobil,” imbuh Ronald.
Diwa cukup serius menyimak penjelasan Ronald. Berharap dari tempat-tempat yang dijelaskan Ronald, salah satunya ada yang bisa dicurigai akan dikunjungi Abu.
“Kalau tempat yang pasti akan dikunjungi masyarakat Indonesia dimana?” tanya Diwa.
“Ya Orchard. Tempat yang akan kita tuju,” jawab Ronald.
Diwa sedikit terkejut. Tetapi ia mencoba untuk bisa santai sebisanya. ”Jangan-jangan Abu akan ke situ juga.” Bunga terlihat asyik ngobrol dengan Alya. Isterinya Ronald.
“Tempat-tempat lainnya dimana?” lanjut Diwa.
“Patung Singa di Merlion Pulau Sentosa. Naik MRT juga. Menuju Raffles City. Lalu ada Bugis atau China Town. Atau bisa juga ke Mustafa center. Naik aja MRT dan nantinya turun di Little India. Pusat belanja yang satu ini sudah tersohor murahnya dan buka 24 jam,” jelasnya, “O, iya, sebentar lagi kita sampai Orchard. Ayo siap-siap!”
*
Apartemen-apartemen di Orchard menjulang tinggi. Ronald membawa Diwa dan Bunga pada sebuah apartemen apik. Ia mulai bertransaksi dengan petugas resepsionis.
Diwa memilih yang 40 Dollar Singapura per malam. Sebagai syaratnya mereka harus membayar uang jaminan 10 persen. Diwa dan Bunga mendapat tempat di lantai tujuh apartemen.
“Kami pamit dulu.” Ronald mendapat shif kerja sore sebagai editor disebuah perusahaan media. Seorang office boy mengantar Diwa dan Bunga menuju apartemen di lantai tujuh.
Apartemen yang disewa keduanya terdiri dari satu kamar tidur. Ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Ini adalah kali pertama Diwa dan Bunga berduaan. Tanpa ada pihak ketiga. Mereka sepertinya masih malu-malu.
Diwa gelagapan. Ia tak tau harus ngomong apa atau melakukan apa. Mau ganti baju di mana atau hal-hal sejenis lainnya.
“Bunga di kamar aja. Biar abang di luar.” Diwa berkata dengan sedikit gugup. ”Kalau Bunga lelah dan mau mandi?! Bunga aja duluan.” Ia masih berjalan mondar-mandir ke sana kemari.
Bunga hanya tertunduk malu-malu. ”Ya udah. Bunga mandi dulu.” Ia masuk ke kamar. Membongkar tas ransel dan menaruh baju-baju mereka ke dalam lemari kamar.
Diwa sesekali melirik ke arah Bunga, sambil memperhatikan keindahan Negara Kota Singapura dari balik jendela kaca. Bunga tersenyum kecil tiada henti. Diwa sendiri ikut tersenyum geli. Hatinya bergetar.
“Ngapain, bang?” tanya Bunga.
“Singapura. Indah, tertib, dan rapi.”
“Iya. Bukannya love in Singapore itu yang indah?” Bunga mencoba merayu Diwa. Ia melangah berdiri merapat ke arah Diwa.
Diwa lalu mengutip kata seorang failasuf muslim.
“Aku berkunjung ke negeri Timur (muslim). Tetapi aku tidak mendapati budaya Islam. Aku berpergian ke negara Barat (non muslim). Akupun menemukan budaya Islam di sini.”
Diwa tidak punya kata-kata lain untuk membalas candaan love in Singapore Bunga. Ia masih sangat kaku untuk urusan itu.
“Mungkin ini maksudnya.” Keduanya beradu pandang. Seperti biasa. Dalam keadaan seperti ini Bunga selalu menunduk. Handuk yang sedari tadi dipegangnya jatuh dengan sendirinya. Membuat hati Diwa semakin bergetar.
Ia mencoba pede merapat ke arah Bunga. Mengusap kepala sang isteri yang masih dihiasi kerudung cinta. Makin menggetarkan. Ini sudah cukup bagi mereka.
“Udah pintar ya membalas love in Singapore??? Bunga mandi dulu!” Sebuah hiasan duniawi menyentuh pipi Diwa. Rasanya memenuhi seluruh hasrat jiwanya. Membuat Singapura seolah makin bercahaya.
Diwa sontak terdiam.
*
Sore mereka telah bersiap-siap untuk keluar apartemen. Sekedar menikmati udara sejuk Kota Singapura.
Diwa dan Bunga sepertinya akan memilih berkunjung ke Singapore River. Tempat dimana patung Mother Lion berdiri. Berdasarkan buku panduan wisata, patung singa ini lebih kecil bila dibandingkan dengan patung singa raksasa Merlion di Pulau Sentosa.
Hari sudah agak sore ketika Diwa dan Bunga sampai di sana. Suasananya benar-benar romantis. Suasana kota yang mengasyikkan. Tiupan angin dan percikan air mancur dari Mother Lion membuat Diwa seakan tak ingin melepas genggaman jemari Bunga. Menjelang Magrib, keduanya memutuskan menuju Masjid Sultan, Bugis.
“Indah ya masjidnya, bang,” tutur Bunga.
“Iya. Juga bersih.”
*
Diwa dan Bunga masih berkesempatan untuk menunaikan salat berjamaah. Saat keduanya sampai, iqamah baru saja dikumandangkan. Mereka ke sana dengan menumpang taksi. Di negara yang penduduk muslimnya hanya sekitar 15 persen itu, jumlah jamaah salat di Masjid Sultan tergolong banyak. Mencapai tiga saf.
Salat baru saja usai ditunaikan. Diwa mengikuti gerakan imam salat. Memalingkan wajah ke kanan dan kiri.
“Astagfirullah, Abu!” Ia terkejut saat melihat Abu termasuk dalam saf salat di Masjid Sultan. “Mudah-mudahan Abu nggak melihatnya. Tetapi bagaimana dengan Bunga?” Diwa makin nggak karuan. Semuanya akan menjadi kacau kalau Abu melihat mereka.
Diwa melirik ke belakang. Berharap Bunga ikut melihat ke arahnya. “Alhamdulillah.” Ia memberikan isyarat ke arah gadis pujaannya itu. Keduanya berusaha bersembunyi dibalik para jamaah lainnya.
Untung saja Abu langsung beranjak usai menunaikan salat Maghrib. Sebuah jip hitam telah siap menjemputnya. Diwa dan Bunga mengintip dari arah masjid. Keduanya bergegas keluar masjid dan menyetop taksi. Mengikuti arah jip hitam legam di depannya.
“Sepertinya menuju Geylang. Apa Abu menginap di hotel sekitar ini ya?” tanya Diwa sama Bunga. Abu keluar dari jip hitam legam tersebut. Diikuti dua pemuda.
“Itu dua pemuda yang selama ini sering bertemu Abu. Orang Aceh juga,” ujar Diwa.
“Yang ikut ngawal kita juga kemarin?” Bunga makin penasaran. Tetapi keduanya tetap memilih berada di dalam taksi. Memantau gerak-gerik Abu. Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius di sebuah cafe.
*
Diwa sebenarnya ingin berinisiatif membayar sopir taksi untuk menguping pembicaraan Abu dengan kedua pemuda Aceh tersebut. Tetapi ia nggak yakin kalau warga negara Singapura akan melindungi kejahatan yang diketahuinya setelah mendapatkan bayaran.
“Mereka bubaran, bang,” ujar Bunga, “Tetapi malah berjalan berlawanan arah. Bagaimana ini, bang?”
“Bunga ikuti Abu. Abang ikuti dua pemuda itu,” ujar Diwa.
“Jangan. Jangan! Potensi ketahuannya akan sangat besar. Abu pasti akan tau setiap detil dari wajah Bunga.”
“Tetapi apa itu tidak akan berbahaya?” tanya Diwa.
“Abang lupa ya?”
“Hmm.” Diwa memainkan jari telunjuknya ke arah wajah belahan hatinya itu. Bunga memang gadis lembut. Tetapi ia juga pemegang ban hitam karatedo. Kalau harus berkelahi dengan Bunga, mungkin Diwa juga akan terkalahkan.
“Ayo cepat! Jangan buang-buang waktu,” ajak Bunga. Keduanya lalu berpisah. Sepertinya tak sulit mengikuti Abu. Diwa melihatnya memasuki sebuah hotel di kawasan Geylang. “Sepertinya Abu menginap di sini.”
Diwa menghubungi Bunga dari telepon seluler. “Gimana?” Ia sebenarnya agak sedikit khawatir.
“Mereka menuju Little India. Sepertinya bermalam di penginapan backpacker.”
“Ya udah. Kalau begitu kita balik ke apartemen aja.”
“Iya, sayangku. Assalamua’alaikum.” Bunga memang paling pede untuk urusan kayak gini.
*
Malam itu Diwa dan Bunga turun ke bawah menuju pusat perbelanjaan di Orchard. Mencari pernak-pernik untuk penyamaran besok. Diwa juga mengganti kacamata minusnya dengan kacamatan minus warna gelap dan agak lebih besar. Ia juga ke salon mengganti model rambut.
“Abang lebih ganteng dengan penampilan seperti ini. Kayak pria kosmopolitan. Abu pasti nggak bakalan kenal dech.”
“Mau mulai lagi love in Singapore ya???” Kali ini Diwa yang coba menggoda.
“Love in Singapore!” Bunga merendahkan suaranya. Ia hanya senyum-senyum tersipu malu.
Bunga lalu berusaha menyibukkan diri. Mengganti model jilbabnya dan memilih pakaian yang bisa bergerak dengan lebih luwes. Tetapi dengan tidak menanggalkan nuansa islami. Bunga membeli sebuah jilbab berbentuk selendang dan memilih sebuah kacamata trendi.
“Kita kayak remaja-remaja Barat ne, bang,” Bunga berkomentar setelah keduanya mencoba penampilan baru di apartemen dan berlenggak-lenggok di depan kaca besar.
“Bunga kalau begini cocoknya jadi model. Merengkuh cinta, love in Singapore!” puji Diwa.
“Mulai lagi kan!” Lagi-lagi Bunga salah tingkah. Diam sejenak, lalu berlenggak-lenggok kembali dengan model pakaian barunya itu. Sepertinya ia ingin menyenangkan Diwa di malam itu dengan penampilan segarnya.
Diwa teringat pada sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ath-Thabrani dari ‘Abdullah bin Salam, Nabi SAW bersabda.
“Sebaik-baik isteri adalah yang menyenangkanmu jika kamu memandangnya. Mentaatimu jika kau menyuruhnya, dan menjaga dirinya, dan hartamu ketika kamu jauh darinya.”
“Abang…! jangan liatin Bunga kayak itu dong. Jangan lagi love in Singapore lah!!!” Ia merajuk dengan bahasa manjanya. Mencoba mendekat ke arah Diwa.
Tertunduk malu-malu dalam lezatnya love in Singapore yang kini telah halal.
*
Pagi-pagi sekali Diwa dan Bunga telah keluar apartemen. Jam menunjukkan pukul 06.00 waktu singapura. Keduanya telah siap dengan pakaian baru.
Mereka menyewa dua buah taksi. Diwa menuju Geylang. Memata-matai Abu. Bunga menuju Little India. Tempat dua pemuda yang semalam terlibat pembicaraan serius dengan Abu.
Tidak butuh waktu lama menuju Geylang disaat lalulintas sedang sepi. Diwa memilih tempat bersantai didekat hotel tempat Abu menginap. Diwa mengontak Bunga. Katanya ia juga sampai di Little India dan siap memata-matai kedua pemuda itu. Hari itu penampilan dan gaya mereka memang bak mata-mata profesional. Dengan headset yang standby di telinga.
Diwa melihat Abu keluar dari hotel. Ia menyusuri lorong-lorong menuju stasiun Aljunied. “Abu naik MRT. Sepertinya ingin menuju Merlion.” Diwa mengontak Bunga.
“Bagaimana kondisi kesehatan abang?” Bunga khawatir penyakit Anxietas Diwa kambuh dalam situasi seperti itu.
“Insya Allah bisa abang kontrol. Bagaimana dengan kedua pemuda itu?” tanya Diwa.
“Mereka juga naik MRT. Arahnya juga Merlion,” jawab Bunga.
Merlion di hari libur termasuk cukup padat. Diwa melihat banyak orang-orang berbicara dengan logat bahasa Indonesia di sini.
“Sayang? Dimana?” Diwa kembali melakukan kontak. Bunga menangkap aroma kecemasan telah hinggap di pikiran Diwa, saat ia menarik nafas panjang dan memanggilnya dengan sebutan sayang.
“Bunga juga baru nyampe Merlion. Ni masih di stasion City Hall. Abang nggak apa-apa kan?”
“Insya Allah. Masih sanggup abang atasi. Bunga nggak perlu khawatir.”
“Abu kemana? tanya Bunga
“Menuju gedung Esplanade,” ujar Diwa.
“Bunga ke sana aja ya!” Ia mulai khawatir dengan keadaan Diwa.
“Jangan. Ikuti aja kedua pemuda itu.”
Mata Bunga terus awas memperhatikan kedua pemuda Aceh itu. Sepertinya mereka juga menuju gedung Esplanade. Ia mempercepat langkah. Mendahului kedua pemuda itu.
“Abang dimana?”
“Sudah di dalam gedung.” Di gedung Esplanade ternyata sedang ada pertunjukan recital piano, pameran lukisan, dan pertunjukan teater. ”Pantesan aja Abu ke sini.”
*
Bunga sudah mengetahui posisi Diwa. Ia juga bisa melihat dengan jelas Abu. Gadis manis ini mendekat ke arah Diwa. Abu tiba-tiba saja melirik ke arah belakang. Bunga mempercepat langkahnya dan seketika memeluk sang pencinta dari arah belakang. Diwa terkejut dan seperti ingin melepas pelukan itu.
“Ini Bunga, bang. Abu melirik kemari.” Nafas Bunga terengah-rengah. Diwa terdiam. Memejamkan matanya. Menghirup wewangian dari sang kekasih. Merasakan getaran cinta yang merontokkan seluruh penyakitnya. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka.
Diwa terus melirik ke arah Abu. Sepertinya sedang membeli sebuah tiket pertunjukan teater.
“Abu mau nonton teater,” bisik Diwa. Bunga mendesah. Melepaskan pelukan itu.
“Ayo, bang!” ajak Bunga.
“Tetapi bagaimana dengan dua pemuda itu.” Tanpa disadari, kedua pemuda tersebut tiba-tiba saja melintas di depan keduanya.
“Mereka sepertinya juga berminat pada teater,” tutur Bunga, tersenyum.
Diwa memperhatikan Abu berjalan ke arah kanan pintu masuk. Kedua pemuda tadi berjalan ke arah kiri. Keduanya kembali membagi tugas. Sesuai job mata-mata awal.
“Hello, sir!” seorang bule menyapa Abu. Sepertinya ia tidak seorang diri. Ada sekitar lima bule lainnya. Mereka mengitari tempat duduk antara Abu dengan bule yang menyapanya. Agak sulit bagi Diwa untuk menguping pembicaraan mereka.
“Bangkok 12122003,” Abu mengulang dengan suara sedikit lebih keras.
“Aneh! Siapa dan apa maksud Abu sebenarnya.” Diwa kebingungan sendiri. ”Apa Abu sengaja mengeraskan suaranya? Atau hanya kebetulan saja?”
*
Selepas itu Abu dan teman bulenya hanya terlihat bercakap santai dan sesekali diiringi canda tawa. Mereka baru membubarkan diri seiring dengan berakhirnya pertunjukan teater. Abu berjalan ke arah Selatan. Sang bule pergi dengan menggunakan jipnya. Sesaat kemudian dua pemuda Aceh berjalan mengekor Abu dari belakang.
“Bang, gimana?” Bunga tiba-tiba muncul.
“Sulit untuk mendengar pembicaraan mereka. Banyak pengawal mengelilingi pembicaraan Abu dengan seorang bule,” ujar Diwa, ”Tetapi Abu sempat menyebutkan kata-kata, Bangkok, 12 Desember 2003. Bunga bagaimana?”
“Intinya mereka setuju dengan transaksi Bangkok. Orang-orang yang berbicara dengan kedua pemuda itu sepertinya juga orang Aceh. Tetapi kayaknya sudah lama tinggal di Singapura atau Malaysia. Mereka berbicara dalam logat melayu,” jelas Bunga.
“Abu sepertinya menuju Merlion Park,” ujar Diwa.
“Apa kita ikuti, bang?”
“Sepertinya terlalu berisiko dan akan ketahuan.”
“Terus bagaimana?”
“Sebentar!” Diwa terlihat serius memperhatikan Bunga. Ia menata kembali letak selendang Bunga hingga menutupi sedikit bagian dagu gadis jelita itu. Bunga hanya mematung. Selalu saja, setiap sentuhan-sentuhan kecil Diwa membuatnya bergetar.
“Ayo!” ajak Diwa.
“Nggak bakal ketahuan ni, bang?”
“Percaya dech.”
“Ok.” Bunga memberi hormat dengan mengangkat tangannya. Seperti orang hormat bendera. Diwa menggenggam jemari-jemari lentik Bunga. Semilir angin laut membasuh peluh mereka. Diwa dan Bunga berjalan mendekati Abu dan dua teman pemuda tadi.
Mereka berperilaku bak dua sejoli sedang dimabuk cinta. Berharap Abu tak terlalu memperdulikan kehadiran Diwa dan Bunga. Mereka juga memotret Merlion dengan latar Hotel Fullerton atau Merlion dengan latar Esplanade.
“Tingkat CoHA saja telah gagal, Abu. Saya pesimis usaha yang kita lakukan ini bisa memberikan jalan bagi perdamaian Aceh.” Pemuda ceking diantara Abu dan pemuda jangkung itu tampak lesu.
*
Abu menerawang ke lautan lepas. “Kalau begitu kita butuh pergantian rezim kepemimpinan di Indonesia. Mudah-mudahan usaha kita ini ikut membuka mata rakyat tentang pentingnya pemimpin yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.”
“Saya sepakat, Abu.” Pemuda jangkung ikut optimis, “Kami juga tidak ingin ada banyak korban lagi. Apalagi konflik telah merenggut ’tokoh-tokoh pilih tanding Aceh’120 yang sulit tergantikan.” Mata pemuda jangkung itu menerawang ke lautan lepas.
“Ya. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar. Peran orang ketiga juga akan sangat menentukan berhasil tidaknya transaksi Bangkok.” Lagi-lagi Abu menyebut orang ketiga.
Diwa dan Bunga makin penasaran. “Siapa sebenarnya orang ketiga yang dimaksud Abu.”
“Ok. Kalau begitu selamat menikmati liburan di Singapura.” Abu melepaskan kaca mata hitamnya dan beranjak meninggalkan Merlion Park.
“Syukur. Huuu.” Bunga mengurut dada, “Abu sepertinya nggak mengenal kita, bang.”
“Sekarang kita kemana? Say good bye Singapura atau?” tanya Diwa.
“Bunga ingin love in Singapore itu!” Ia alah terlihat malu-malu. Diwa merangkul sang pencinta. Merengkuh cinta di Merlion Park.***