Kerajaan Aceh

Aceh adalah kiblat utama dalam sejarah tradisi keilmuan Islam di Asia Tenggara. Ulama Aceh juga mengilhami karya ulama nusantara berikutnya.

Sultan Aceh terang menyatakan menolak mengakui kedaulatan Sri Paduka Raja Belanda atas Aceh. Inilah awal invasi ke-1 Belanda, April 1873.

Syiah Kuala Mengkritik Sikap Fanatisme Ar-Raniry dalam menghadapi Hamzah Fansuri dan para pengikutnya, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani.

Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah memberikan mandat kepada para ulama untuk menjalankan pemerintahan di Kesultanan Aceh.

Sebanyak 154 manuskrip tersebut merupakan korespondensi antara Aceh-Utsmaniyah kurun waktu 1567-1900 Masehi.

Sultan Iskandar Muda merasa sedih dan kecewa karena Sultan Abdullah Ma'yat Syah mengirim pulang Putri Jeumpa.

Sulit bagi Belanda memahami watak orang Aceh. Invasi kedua mereka Mei 1873 bahkan mengikutsertakan 243 perempuan. Termasuk perawan.

Taman Ghairah adalah nama asli dari Taman Putroe Phang. Mengalir sungai Darul 'Ishki yang airnya bisa langsung diminum.

Masjid Raya Baiturrahman dan seluruh istana Kerajaan Aceh terbakar pada masa Sultanah Nuru'l 'Alam. Termasuk barang-barang pusaka purbakala.

Dalam laporan Colonial Verslag yang terbit tahun 1905, Pocut Meurah Intan adalah satu-satunya keturunan Kesultanan Aceh yang belum menyerah.